Alphonso Davies GFXGetty/Goal

Dari Kamp Pengungsi Hingga Menjadi Bek Kiri Terdepan Di Dunia: Tunas Berkualitas Alphonso Davies

Alphonso Davies menyimpan bakat alami, secercah kekuatan magis yang bikin kebangkitannya terlihat mudah.

Dia punya kecepatan, yang membuatnya menjadi ikon dunia maya sepanjang laga Bayern Munich di Liga Champions.

Dia punya keterampilan dribel yang membuat bola tetap menempel di kakinya saat ia menekuk dan menukik untuk mengecoh pemain bertahan lawan hingga dibuatnya tidak berdaya.

Lalu, dia punya kemampuan super untuk beradaptasi dan menciptakan peluang. Kemampuan tersebutlah yang telah membuat Davies muncul menjadi semacam sensasi.

Dia mendominasi MLS dan Bundesliga sedari remaja. Dia telah mengoleksi dua gelar liga Jerman dan satu trofi Liga Champions, meraih total tujuh trofi sejak pindah ke Bayern.

Dia terpilih sebagai “Rookie of the Year” Bundesliga, Starter Terbaik Liga Champions, nominasi Bek Terbaik UEFA, dan sekarang masuk daftar Goal 50 edisi 2020.

Davies baru saja menginjak usia 20 tahun pada awal November. Semuanya tampak begitu mudah, sangat mudah.

Tapi, kebangkitan Davies menyajikan kalkulasi tersendiri. Lompatan kariernya dari pemain berlabel properti panas MLS hingga menjadi bintang Liga Champions dapat terjadi lantaran banyak yang percaya kepadanya, meskipun dia mengaku bahwa dia bahkan tidak selalu percaya pada dirinya sendiri.

"Anda mungkin pernah membaca beberapa hal tentang saya dalam beberapa tahun terakhir," begitu bunyi tulisannya di Players 'Tribune.

"Seperti ketika saya berusia 15 tahun: Davies menjadi pemain termuda kedua yang bermain di MLS. Atau ketika saya berusia 17 tahun: Davies memecahkan rekor transfer ke Bayern Munich.”

“Saya sepertinya terlihat percaya diri bahwa saya akan selalu berhasil. Tapi tidak seperti itu. Atau setidaknya bukan seperti itu rasanya."

“Impian saya adalah menjadi pemain besar di Eropa. Tetapi sebagian besar bintang yang ada di sana berasal dari Eropa atau tempat-tempat seperti Brasil dan Argentina.”

"Berapa banyak yang datang dari Edmonton [Kanada], dimana Anda seharusnya hanya bermain hoki? Tidak ada. Jadi, ya, saya memiliki banyak keraguan. Saya bertanya-tanya apakah saya telah melakukan semaksimal yang saya bisa," tambahnya.

Pada titik ini, cerita asal-usul Davies cukup menarik dan tampaknya sudah diketahui banyak orang.

Alphonso Davies quote GFXGetty/Goal

Davies adalah putra dari orangtua asal Liberia. Keluarganya pindah ke Ghana dan akhirnya ke Kanada selama perang saudara jilid dua di Liberia, konflik yang menyebabkan lebih dari 450.000 orang mengungsi. Meskipun awalnya terlihat biasa-biasa saja, dia nyatanya cukup berbakat untuk mendapatkan tempat di akademi Vancouver Whitecaps [klub sepakbola Kanada yang berkompetisi di MLS] pada usia 14 tahun.

Dari situlah pusaran angin dimulai. Pada usia 15 tahun, ia bermain di MLS, menjadi pemain termuda yang melakoni debut sejak Freddy Adu. Tapi dimana Adu sekarang? Davies melaju pesat.

Pada 2017, Davies sudah dipercaya tampil reguler, mencetak tiga gol dalam 33 penampilan di semua kompetisi. Pada 2018, dia masuk skuad MLS All-Star dan salah satu talenta muda terbaik yang pernah ada di liga Negeri Paman Sam.

Tak lama kemudian, Bayern terpincut. Chelsea, Liverpool dan Manchester United, pun kesengsem. Tapi, klub yang disebut terakhir menolak beberapa peluang untuk mengontrak bintang Kanada itu. Pada akhirnya Bayern yang menang. Klub raksasa Jerman tersebut beruntung bisa mengamankan jasa sang pemain.

Davies yang baru tiba di Jerman sangat berbeda dengan Davies sekarang yang menjadi pilar masa kini dan masa depan Bayern. Davies adalah pemuda berbakat sayap kiri, pemain dengan kemampuan untuk melewati lawan dan, terkadang, berkutat di dalam kotak penalti.

Davies adalah terminator di lini defensif. Pemain yang mengaplikasikan bakatnya secara penuh dalam beberapa pekan setelah diplot sebagai full-back.

Bayern mungkin adalah tim terbaik di dunia dalam hal mengubah pemain menjadi sesuatu yang sama sekali baru.

Philipp Lahm semakin kinclong dalam transisinya dari bek sayap ke lini tengah dan kembali ke posisi semula dengan saat nyaman. Joshua Kimmich, pewaris Lahm, melakukan hal serupa. David Alaba bergeser dari bek sayap ke jantung pertahanan dan kemudian bermain sebagai pemain nomor 10 di timnas Austria selama jeda internasional.

Bagi Davies, pesta yang menandainya sebagai bek kiri kelas dunia datang pada laga di Liga Champions melawan Barcelona, musim lalu.

Sebelum kemenangan dengan skor mencolok 8-2 yang akan terus dibahas tersebut, Davies adalah pemain Bayern yang berlari dengan sangat cepat. Saat dia melewati Lionel Messi lalu Arturo Vidal dan kemudian Nelson Semedo sebelum melepas umpan ke Kimmich yang Anda, pembaca, bisa lihat, ya, dia telah berada di jalur menjadi bintang.

Alphonso Davies Goal 50 GFXGoal

“Dia [Davies] bermain dengan pemain terbaik di sekelilingnya dan pelatih yang berkualitas, tetapi dia pantas menerima segala pujian karena dia adalah pemain yang fantastis dan pemuda yang fenomenal," ucap mantan pelatih Whitecaps dan eks gelandang timnas Wales, Carl Robinson.

“Cara dia melewati Semedo dari titik awal mengingatkan saya pada Ryan Giggs muda, yang juga mendribel bola secepat itu hanya dalam jarak tiga atau empat yard. Cara dia yang tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan untuk mencetak gol menunjukkan kenapa dia berada di klub besar seperti Bayern Munich. Itu luar biasa.”

“Penempatan posisi dan keterampilan kakinya akan meningkat dengan seiring jam terbang. Ya, Ashley Cole pada usia yang sama bukanlah bek yang sempurna dan Gareth Bale pada usia 21, bermain sebagai [bek kiri yang berubah menjadi] pemain sayap di Tottenham Hotspur yang juga telah berkembang.”

"Alphonso memulai dengan baik di rentang pemain seusianya karena dia telah bermain di level yang sangat tinggi, satu atau dua tahun sebelum teman-teman sebayanya," tambahnya.

Bek kiri Liverpool, Andy Robertson, yang dipandang sebagai salah satu full-back menyerang terbaik di dunia, mengakui bahwa ia tidak dapat melakukan beberapa hal yang bisa dilakukan Davies.

Marcelo, bek kiri terbaik pada generasinya, mengatakan bahwa gaya bermain Davies membuat matanya berlinang air mata.

Pujian terbesar yang diterima Davies tidak datang dari mantan rekan setim, pelatih, atau pengamat. Itu justru berasal dari lawan, saingannya, dan banyak dari mereka mengakui suka dengan apa apa yang mereka lihat.

Namun, cerita ini masih jauh dari selesai. Davies baru berusia 20 tahun, meskipun mudah untuk melupakan fakta tersebut mengingat sudah berapa lama dia berada di kancah sepakbola Amerika Utara. Dia mengalami kesulitan musim ini, dikritik pelatih Bayern, Hansi Flick, sebelum mengalami cedera.

Dia mungkin saja adalah bek kiri terbaik dunia atau mungkin tidak. Beberapa rekannya telah memasukkan nama sang pemain dalam perdebatan itu, tetapi diskusi itu subjektif. Ya, ini adalah sebuah debat.

Alphonso Davies Bayern Munich 2019-20Getty

Tapi bakatnya? Terlihat di sana. Etos kerja? Pun begitu.

"Ketika saya pertama kali datang ke Jerman, itu adalah pengalaman untuk belajar bagi saya, saya tahu kualitas pemain yang mereka [Bayern] miliki di tim ini," kata Davies, menurut media Kanada, Edmonton Sun.

“Beryukur bisa bermain secara reguler. Saya hanya mencoba membuktikan diri dan menunjukkan bahwa saya bisa bermain di level ini.”

"Saya membantu tim memenangkan liga, lalu DFB-Pokal (Piala Liga Jerman), dan kemudian Liga Champions. Perasaan yang luar biasa bagi saya yang masih sangat muda dan bisa melakukannya pada awal karier.”

“Apakah itu sudah meresap? Saya akan mengatakan belum, tapi yang pasti saya sudah pernah sampai di sana. Saya masih tidak percaya semua ini terjadi," pungkasnya.

Percayalah, Alphonso. Anda telah mengejawantahkannya.

Iklan