Francesco CocoGetty Images

Francesco Coco - 'Titisan Paolo Maldini' Yang Hidup Seperti Playboy

Siapa pun bakal hancur dalam tekanan jika dilabeli 'titisan Paolo Maldini'. Tetapi, sosok Francesco Coco terlihat mampu memenuhi ramalan itu.

Ya, ketika bek kiri berkaki kanan itu mendobrak skena Serie A pada pertengahan 90-an, AC Milan dan Italia seperti sudah menemukan putra mahkota Maldini.

Namun bukannya menjadi penerus bek legendaris itu, Coco malah menjalani

Artikel dilanjutkan di bawah ini

Lahir di Sisilia pada 8 Januari 1977, Coco pindah ke Legnano, Milan, di usia yang masih amat kecil. Dan setelah beberapa tahun mengenyam pendidikan sebagai striker di akademi Como, ia direkrut oleh Rossoneri.

Biasa diturunkan sebagai bek sayap kiri, ia tak seperti rekan-rekan satu posisinya pada masa itu. Kaki kanan Coco lebih dominan, sehingga menambah fleksibilitas taktik buat pelatih yang menurunkannya.

Ia akhirnya diganjar debut pada 1995/96 di Serie A pada usia yang baru 18 tahun melawan Padova, dan mendapat persembahan perayaan gol Francesco Baresi, yang ingin merestui kariernya yang baru saja pecah telur.

Di musim debutnya itu, Coco langsung memenangkan Scudetto. Sebagai pemain muda, ia tampil penuh percaya diri dengan kecepatan, fisik, dan stamina yang mumpuni. Kemampuan Coco untuk melakukan umpan silang dengan kedua kaki juga membuat Milanisti tak sabar melihat akan sebagus ia di masa depan.

Bahkan Fabio Capello, yang sempat meremehkannya, harus mengakuinya. "Kalau Anda sampai jadi pemain sepakbola profesional, saya bakal potong rambut," yang dibalas Coco dengan mantap: "Pak, siapkan gunting Anda."

Coco mendapatkan pengalaman bermain ketika dipinjamkan ke Vicenzia dan Torino meski harus diterpa cedera lutut serius, dan kebintangannya dimulai pada musim 2000/01.

Pria Sisilia itu kembali ke Milan setelah menjuarai Piala Eropa U-21 bersama Italia, dan ia langsung meletup. Coco, dengan Maldini bergeser sebagai bek tengah, terbukti merupakan bek kiri sempurna buat taktik 3-4-3-nya Alberto Zaccheroni. Ia memainkan 44 pertandingan lintas ajang serta mengemas 4 gol.

Malam itu, pada September 2000, Camp Nou menyaksikan magis yang bisa diciptakan Coco. Dengan satu gol dan assist buat Oliver Bierhoff, ia mengantarkan Rossoneri menjadi tim Italia pertama yang bisa berjaya di markas Barcelona.

Tak ayal, 'titisan Maldini' pun bersemat di pundaknya.

"Saya sukses dalam segalanya," kenang Coco pada 2019 saat diwawancara Gianlucadimarzio.com. "Saya pikir saya bakal di Rossoneri seumur hidup dan bakal mengenakan ban kapten."

Tetapi, meski dipanggil Giovanni Trapattoni masuk timnas senior Italia, nasib Coco terjun bebas setelahnya.

Dugem, skandal, dan gaya hidup playboy

Pada musim panas 2001, Coco tersandung skandal. Dua paparazzi memfotonya dan kawan-kawannya berjemur telanjang di Kepulauan Balears. Sebenarnya keberadaan foto tersebut tak seburuk itu, toh Coco hanya sedang menikmati liburan bersama temannya. Tetapi sejak saat itu ia selalu menjadi bahan gosip dan kehidupannya tak lagi tenang.

Hubungannya dengan aktris Manuela Arcuri atau selebriti seperti Samantha De Grenet dan Francesca Lodo selalu menghiasi halaman depan majalah infotainment. Ketika ditanya Milan apa hobinya, ia menjawab: "wanita". Ia juga sering masuk tabloid akibat gaya hidup tukang dugem dan playboy-nya itu.

Karena itu, profesionalismenya sebagai atlet kerap dipertanyakan, bahkan difitnah macam-macam.

"Mereka bilang saya mengonsumsi narkoba bahkan ketika bermain, tetapi saya tidak pernah menyentuh kokain," tegasnya. "Didikan ibu selalu menjauhkan saya dari barang tak berguna itu, silakan dites sampai 1.500 kali."

Suaka di Barcelona dan penyesalan Piala Dunia

Francesco Coco Barcelona 2001Getty Images

Kehadiran Fatih Terim di pinggir lapangan San Siro mendesak Coco untuk mengambil pilihan. Ia tak dipercaya pelatih asal Turki itu dan memutuskan untuk ke Barcelona dengan kesepakatan pinjaman.

Sebagai pria Italia pertama yang mengenakan seragam Blaugrana, sebetulnya ia tampil lumayan apik di Spanyol. Tetapi ia harus berebut tempat dengan pemain kesayangan Cules, Sergi, di bek kiri, dan cuma mengemas 33 penampilan di semua kompetisi.

Selain itu, secara umum Barca menjalani musim yang buruk di bawah Carles Rexach, dan ditelan mentah-mentah oleh dominasi Real Madrid. Coco juga tak mendapatkan perlakuan yang sedap dari pers di sana.

Terlepas dari semua itu, Trapattoni tetap membawanya ke Piala Dunia 2002, meski Italia kurang sukses di sana.

Saat itu, pada 18 Juni, Azzurri didepak oleh tuan rumah Korea Selatan dalam salah satu pertandingan paling kontroversial di panggung Piala Dunia.

Coco, yang tetap bermain hingga akhir meski kepalanya sempat bersimbah darah, mengecam keras kepemimpinan wasit Byron Moreno.

"Kami terdepak di 16 besar karena wasit yang melihat kami dengan mata tolol dan membuat keputusan gila," ujarnya berang. "Itu bukanlah pertandingan sepakbola."

Coco tampil buat Azzurri untuk terakhir kalinya tiga bulan kemudian melawan Azerbaijan. Dan itu menjadi salah satu penyesalan terbesarnya.

"Saya sering sekali berandai-andai tentang Piala Dunia 2006. Tentang apa yang sebenarnya bisa saja terjadi. [Fabio] Grosso bermain di sayap saya, terkadang benak saya selalu kembali memikirkan itu..."

Menyebrang ke Inter Milan

Saat masih berseragam Barcelona dan sebelum Piala Dunia, Coco mulai dilirik tetangga dan rival Rossoneri: Inter Milan.

Ia bertukar tempat dengan Clarence Seedorf dalam transfer yang ditaksir bernilai hingga €28 juta, dan Inter dianggap mendapatkan kesepakatan yang lebih bagus.

Francesco Coco Clarence SeedorfGetty

Waktu itu Seedorf dinilai masih inkonsisten dan Milanisti tak habis pikir mengapa klub kesayangan mereka merekrut gelandang Belanda itu ketika mereka sudah diperkuat Andrea Pirlo dan Rui Costa.

Sejarah membuktikan sebaliknya. Kepindahan Coco ke seberang jalan adalah kegagalan total. Ia dihempas cedera lutut kronis dan akhir masa baktinya bersama Inter berakhir tidak harmonis.

Coco merasa diperlakukan dengan tidak baik oleh pihak klub dan diberi perawatan yang keliru. Pada 2003, ia menjalani operasi punggung atas rekomendasi Inter dan dijanjikan bisa kembali bugar dalam sebulan lebih sedikit.

Alih-alih sebulan, ia justru menepi hingga nyaris dua tahun, dan bahkan sempat menjalani fisioterapi karena kesulitan berjalan. "Rasanya Francesco yang bermimpi menjadi pemain sepakbola sudah lenyap," kenang Coco getir.

Cedera itu memang menjadi salah satu penyebab pensiun dini Coco beberapa tahun kemudian, tetapi hubungannya dengan Roberto Mancini, Allenatore Inter saat itu, juga runyam.

Kabarnya Mancini membekukan Coco dengan tak memberinya loker di ruang ganti, tak mengizinkannya berlatih bersama tim utama, dan tak mengundangnya pada makan malam natal tim.

Demi menghindari situasi ini, Coco mencoba 'kabur' dengan dipinjamkan ke Livorno dan Torino, bahkan sempat berpeluang ke Manchester City setelah kontraknya diputus pada 2007.

Setelah tak bisa mendapatkan klub, Coco memutuskan untuk gantung sepatu dan berkarier sebagai aktor, yang ternyata juga kurang sukses.

Sejak pensiun, kehidupan pribadi Coco justru semakin bebas gangguan. Ia menjadi pandit Sky Italia untuk laga Liga Champions.

Yang paling ironis, mungkin menyedihkan, sang 'titisan Maldini' justru pensiun lebih dulu dari Maldini-nya sendiri. Sungguh, jika masih ada yang percaya talenta adalah segalanya, Coco adalah bukti nyata yang menyangkal mentah-mentah gagasan itu.

Iklan