Lilian Thuram GFXGOAL

Lilian Thuram - Tembok Legendaris Prancis Yang Jadi Pejuang Lawan Rasisme

Seorang legenda hidup sepakbola. Lilian Thuram, salah satu bek terkuat di generasinya, yang mampu memenangkan hampir semua hal di lapangan, tapi yang terpenting adalah simbol perjuangan melawan rasisme dan selalu terlibat dalam pekerjaan sosial di beberapa bidang.

Lahid di Guadeloupe pada hari tahun baru, dibesarkan dalam karavan oleh ibunya bersama empat saudaranya setelah ditinggalkan oleh ayahnya ketika dia masih sangat muda, Thuram pindah ke Paris di mana ibunya bekerja sebagai pembersih untuk menghidupi anak-anaknya. Masa kecil yang sulit diceritakan oleh orang yang bersangkutan beberapa waktu lalu di La Repubblica.

"Saya adalah anak pertama di pulau yang lahir tahun itu. Surat kabar dan stasiun televisi mendatangi rumah kami. Ayah saya? Saya tidak pernah merindukannya. Terkadang lebih baik tumbuh tanpa harus berurusan dengan seseorang yang tidak berperilaku sebagaimana mestinya," ucap Thuram.

Artikel dilanjutkan di bawah ini

"Saya tahu sedikit tentang kisahnya, tapi saya tahu bahwa saya akan memberikan cinta sebanyak mungkin kepada anak saya karena sesesorang harus selalu berusaha adil dengan diri sendiri dan orang lain. Melihat anak saya lahir adalah hal terindah dalam hidup saya, juga karena itu mengingatkan saya pada pengorbanan yang dilakukan oleh keluarga saya untuk membantu saya tumbuh."

Lilian saat itu adalah anak yang sangat lemah, sedemikian rupa sehingga dijuluki 'Jambes d'Allumette', atau kaki batang korek api. Dia mulai berlatih atletik hingga jatuh cinta pada sepakbola. Cinta pertama yang terbalas. Tim pertamanya adalah dari distrik Fontainebleu, Portugais, yang sebagian besar terdiri dari anak-anak Lusitania dan mengenakan kaus hitam putih sehingga d isebut Juventus. Tanda takdir, mungkin.

Tetapi, pertama-tama Thuram harus menemukan jalannya, juga karena sebagai seorang anak untuk beberapa waktu Lilian memiliki gagasan untuk mengabdi dirinya pada Tuhan bahkan berpikir untuk masuk seminari. Sebuah gagasan yang sirna ketika dia menyadari bahwa pendeta tidak bisa menikah, apalagi punya anak.

"Ketika saya berusia sembilan tahun, saya ingin menjadi seorang pendeta. Di sini, di Antille, pendeta adalah seorang pahlawan, dia mewakili kekuatan dan kebijaksanaan. Dan kemudian di sini mereka menceritakan beberapa kisah aneh dan indah, bahkan penuh dengan ilmu sihir," kenangnya.

"Kemudian saya tiba di Prancis dan saya terkejut bahwa seorang pendeta tidak memiliki anak. Itu adalah sesuatu yang saya tidak mengerti sampai sekarang."

Lilian ThuramGetty

Sementara itu, pemandu bakat Fontainebleu memperhatikannya dan membawanya ke pusat pelatihan mereka. Namun, panggilan yang mengubah karier dan kehidupan Thuram adalah di Monaco, di mana dia berakhir di bawah asuhan pelatih hebat, Arsene Wenger.

Di sisi lain, dia memiliki tujuan dan keinginan besar untuk belajar, di lapangan tetapi di atas segalanya. Lilian banyak belajar dan kacamata bundar itu, yang dikenakan karena sedikit masalah penglihatan, membantu mengobarkan auranya sebagai intelektual pesepakbola.

Thuram tetap berada di sana selama lima musim di mana kontrak dengan klub Italia terus meningkat. Pertama dia tampaknya akan hengkang ke Fiorentina, kemudian Juventus juga mengincarnya, tapi pada akhirnya Parma yang ambisius memenangkan perburuannya, yang pada tahun 1996 akhirnya membawa ke Serie A dan di mana dia berduet dengan Fabio Cannavaro. Hubungan khusus diceritakan beberapa tahun lalu ke Hurra Juventus.

"Kami menghabiskan lima tahun fantasi di Parma, memainkan banyak pertandingan bersama. Saya berutang banyak padanya, karena ketika saya tiba di Italia, saya adalah anak laki-laki berusia 24 tahun dan dia membantu saya memasukkan diri saya ke dalam realitas yang benar-benar baru untuk saya," ungkap Thuram.

"Dia adalah orang yang cerah, dia selalu ceria, dia menikmati dirinya sendiri. Katakanlah jika saya telah menjadi diri saya ini berkat apa yang kita jalani bersama di tahun-tahun itu."

Most capped Europeans Lilian ThuramGetty Images

Di bangku cadangan di Parma adalah Carlo Ancelotti, yang nantinya akan digantikan oleh Malesani. Gialloblu pada tahun-tahun itu nyaris meraih Scudetto, bagaimanapun, hanyalah mimpi. Jadi, kemenangan besar pertama Thuram datang bersama tim nasionalnya di Piala Dunia 1998, ketika dia juga mencetak dua gol bersejarah melawan Kroasia di semi-final, membawa Les Bleus mencapai final di Saint Denis. Peristiwa yang lebih untuk, seperti yang diakui Lilian dengan bercanda di La Repubblica.

"Dan untuk berpikir bahwa biasanya saya bahkan tidak mencetak gol dalam latihan, ketika saya mencetak gol, saya kartu melihat kartu merah."

Parma pada saat itu mulai menjadi terlalu kecil untuk seorang juara dunia dan bahkan Piala UEFA, Piala Italia dan Piala Super Italia tidak cukup mempertahankannya. Dia dekat dengan Inter, dia memenangkan Euro 2000, dan musim panas berikutnya Moggi berhasil membawanya ke Juventus dengan membayar sekitar €36 juta. Lilian kemudian mengiyakan tawaran Si Nyonya Tua karena yakin akan bertemu dengan kompatriotnya, Zidane, dan mantan pelatihnya, Ancelotti, di Turin, sayang pada akhirnya keduanya meninggalkan klub sebelum kedatangannya.

"Ancelotti sangat bersikeras agar saya datang ke Turin, ketika mereka mengusirnya dia sangat marah, tapi dia menyarankan agar saya tidak berubah pikiran. Zidane juga meyakinkan saya untuk menerima tawaran Juventus. Sungguh aneh mengetahui Zizou pergi. Tapi, perubahan adalah bagian dari kehidupan," imbuhnya.

Dan perannya juga berubah di Juve, mengingat Lippi memutuskan untuk menggantikannya sebagai bek kanan meski Thuram tidak terlalu yakin pada awalnya. Dalam balutan jersey Bianconeri ia memenangkan empat Scudetto, meskipun dua dicabut karena Calciopoli, semuanya sambil berlari dengan kecepatan penuh di sepanjang sayap dengan kaki yang kurus dan kuat karena keringat dan pengorbanan.

Seorang pemimpin sejati meski hampir tidak pernah dengan ban kapten. Alasannya? Dia menceritakan sendiri kepada Hurra Juventus.

"Ketika saya masih kecil, saat berusia 15 tahun, sebelum pertandingan pelatih mempromosikan saya menjadi kapten. Setelah pertandingan, saya mengatakan kepadanya bahwa saya tidak akan melakukannya lagi, karena saya merasa berbeda dari yang lain dengan ban di lengan itu. Saya menolak, bagaimanapun, itu adalah perasaan yang aneh," ungkap legenda Prancis itu.

"Kemudian itu terjadi pada saya beberapa kali di Monaco, Parma dan Juventus. Jelas saya telah berubah selama bertahun-tahun, saya tidak lagi merasa berbeda, tapi saya sering mengingat kembali kenangan saya di masa lalu itu."

Lilian Thuram Juventus 2005-06Getty

Skandal yang menimpa orang kulit hitam dan kulit putih pada tahun 2006 memaksanya untuk berubah pikiran. Jadi, Thuram pindah ke Barcleona di mana dia akan berjuang untuk menemukan ruang. Ketika dia akan pulang untuk menandatangani kontrak dengan PSG, dia didiagnosis dengan kondisi jantung yang mirip dengan membuat saudaranya Antonio kehilangan nyawanya di lapangan basket. Lilian yang saat itu berusia 36 tahun memutuskan bahwa waktunya telah tiba untuk berhenti. Setidaknya di lapangan.

"Ketika saya masih muda di Monaco, mereka memberi tahu saya bahwa saya memiliki masalah tapi saya fit untuk bermain. Ahli jantung menemukan kelainan jantung. Mereka melakukan tes yang lebih mendalam. Saya tahu saya memiliki kelainan jantung ini, ibu saya juga mengidapnya dan dia juga ada di sana saat saya sedang mengerjakan ujian. Kakak saya meninggal karena penyakit ini di lapangan basket dan anggota keluarga saya yang lain menderita karenanya," ujarnya.

Nyatanya, putra sulungnya, Marcus Thuram yang lahir di Parma, kini menjadi bintang Borussia Monchengladbach dan mencapai final Piala Dunia 2022, berjasa membawa nama Thuram ke puncak dunia sepakbola. Sedangkan putra keduanya, Khephren, juga lahir di Italia, bermain untuk Nice dan dimasukkan oleh The Guardian di antara talenta muda terbaik.

Keduanya, tentu saja, adalah kebanggaan ayah Lilian yang sementara itu mendedikasikan jiwa dan raganya untuk berjuang melawan rasisme.

"Pemain kulit putih dan pelatih kulit putih dapat melakukan banyak hal, jika Anda tidak melakukan apa-apa berarti Anda menerima keadaan," ucap Thuram soal pandangannya tentang rasisme.

"Pemain harus mengatakan: 'Ya, ada rasisme di Italia'. Dan Anda mengatakan itu karena Anda mencintai Italia dan Anda ingin melakukannya. Jika Anda memiliki masalah, saya harus membantu Anda, bukan berarti saya harus bertanya terlebih dahulu dari mana Anda berasal dan warna apa warna kulit Anda. Ketika Anda berteriak bahwa [Kalidou] Koulibaly monyet, Anda melakukan kekerasan, Anda tidak hanya menyakiti dia tapi banyak orang."

Kata-kata seorang juara hidup sepakbola. Tembok pertahanan tanpa selempang yang ingin menjadi pendeta dan mampu menaklukan dunia.

Iklan