Marc Klok - IDGOAL

Dari Amsterdam Ke Timnas Indonesia: Kisah Perjalanan Emosional Marc Klok Dari Kacamata Sang Ibu

Penerjemah: Yuni Kartika | Editor: Donny Afroni

Di lantai tiga sebuah rumah dekat jalan raya di Amsterdam Utara, seorang pesepakbola timnas Indonesia dilahirkan. Namanya Marc Klok. Ibunya, Lia, masih tinggal di rumah yang sama, dan melihat bagaimana anaknya dari Groetstraat di Amsterdam berhasil meraih medali di SEA Games 2021 untuk Indonesia.

Artikel dilanjutkan di bawah ini

Perjalanan panjang menuju timnas diawali putra Lia dengan bola dan lapangan kecil yang sangat tidak nyaman di Amsterdam Utara. “Di lingkungan ini bukan tempat yang layak untuk bermain sepakbola. Di lingkungan lain ada, jadi anak-anak di sini membenci itu,” kenang Lia kepada jurnalis di Belanda, Bas de Wit.

“Marc – sebagai anak kecil – memutuskan untuk menulis surat kepada anggota dewan lokal. Mereka benar-benar mengabulkan permintaannya terkait lapangan yang layak, dan menamakannya 'Marc Klok Square'. Saya merasa cerita itu cukup khas untuknya sebagai seorang anak, karena dia selalu mengurus segala sesuatunya.”

Kisah itu yang sepertinya menjadi awal Marc muda untuk bergelut di sepakbola dengan lapangan yang disematkan namanya. Dia dikelilingi banyak pesepakbola bagus. Amsterdam Utara merupakan area multukultural, dan sepakbola jalanan menjadi gaya hidup di sana.

Karier klub Klok kala itu belum begitu intens, tapi semua berubah ketika ia mendengar teman masa kecilnya, Ouasim Bouy, yang pernah bermain untuk Juventus dan Leeds United, terpantau Ajax saat bermain untuk tim amatir Zeeburgia di Amsterdam Timur.

Klok juga menyukai langkah seperti itu, jadi Lia mendaftarkannya di Zeeburgia. Di sana dia mulai bermain bersama pemain profesional, seperti mantan penggawa PSV Eindhoven yang kini merumput di FC Utrecht, Adam Maher, dan mantan pemain Ajax sekaligus kakak Ryan Gravenberch, Danzell Gravenberch.

Marc Klok Ly Cong Hoang Anh U23 Vietnam U23 Indonesia SEA Games 31 06052022Vân Gabi

Berjuang

“Itu jadi titik awal sesungguhnya bagi Marc. Dia berlatih empat kali sepekan di usia sangat muda. Dia mengembangkan mentalitas pesepakbola papan atas. Itu mewarnai hari-hari kami sebagai keluarga,” tutur Lia.

“Saya beruntung mempunyai waktu untuk membantu dia berkembang di sepakbola. Saya selalu berada di sana – di tepi lapangan. Saya bahkan menjadi ibu kantin di klub. Itu di saat dia mulai memimpikan menjadi pesepakbola profesional.”

Mimpi tersebut mulai menjadi kenyataan ketika FC Utrecht, AZ Alkmaar, dan Ajax tertarik kepada Klok. Keluarga pun mempunyai firasat bagus terhadap akademi Utrecht. Itu juga tidak lepas dari kebijakan Ajax yang meminta Klok menjalani seleksi terlebih dulu.

“Di masa-masa bersama Utrecht, dia bekerja sangat keras. Dia bukan pesepakbola yang dianugerahi bakat murni. Dia berjuang cukup lama, dan menghabiskan banyak waktu,” beber Lia.

“Saya biasa membangunkannya pada pukul 06:30. Dia kemudian menghabiskan hari di sekolah olahraga papan atas, dan malam harinya di FC Utrecht. Ketika pulang ke rumah, dia masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah. Dia tidur pada pukul 23:00, dan alarm berbunyi pada jam yang sama keesokan harinya.”

Tahun-tahun itu yang membuat Klok belajar tentang bagaimana harus berjuang. Bahkan dalam beberapa hal di luar urusan sepakbola.

“Teman-temannya terkadang sedikit iri, dan merundungnya. Ketika saya mendengar tentang itu, saya memberi tahu Marc, dia tidak boleh membiarkan siapa pun melakukan itu,” beber Lia.

“Saya bilang – jika dia terpaksa melakukannya – dia harus membalas. Tapi dari karakternya, dia terlalu baik dan manis untuk memikirkan hal itu. Hanya saja, Anda perlu menunjukkan semangat Anda kepada orang-orang.”

Itulah yang membuat Klok tumbuh besar di Amsterdam Utara dan FC Utrecht, dan bermain di skuad reserve di usia 17 tahun. Debut profesionalnya makin dekat, tapi cedera membuat rencananya berantakan.

Setelah pulih, tempat di Utrecht berhasil diraihnya. Dia memulai petualangan sepakbolanya di Bulgaria, Skotlandia, dan Inggris. Selanjutnya, tiba-tiba datanglah Indonesia.

Marc Klok - PSM MakassarAbi Yazid / Goal

Tragedi menyedihkan

PSM Makassar menginginkan Klok. Kendati sempat ada keraguan, Klok memutuskan mengambil kesempatan tersebut, dan pergi menuju Indonesia. Dia belum menyadari tragedi besar yang akan mengubah hidup keluarganya selamanya.

“Ketika dia pergi pada 11 April 2017, saya merasa sedih. Saya masih ingat bertanya kepada ayah tiri Klok, Ton: 'Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi di keluarga kita? Marc akan pergi sangat jauh'. Ton berusaha menenangkan saya, dan mengatakan: 'Jangan khawatir, tidak ada yang salah',” ungkap Lia.

Jawaban menyesakkan terhadap pertanyaan itu terjadi satu hari kemudian. Pada 12 April 2017, Ton ditemukan meninggal dunia dengan cara bunuh diri.

“Marc saat itu baru tiba di Indonesia. Pada 11 April dia menghubungi kami telah mendarat di Makassar, dan sempat berbicara juga dengan Ton yang sudah dianggapnya seperti kawan. Dia kemudian tidur di hotel, dan di saat bersamaan terjadi tragedi yang menyedihkan di Amsterdam,” papar Lia.

Lia lalu menelepon Klok. Ketika mendengar kabar duka itu, dia bersiap untuk memutus kontraknya bersama PSM, dan ingin segera pulang agar bisa berkumpul dengan keluarga.

“Tapi saya meyakinkan dia agar tetap di sana. Saya tidak mengizinkannya pulang. Saya menginginkan yang terbaik untuknya. Saya bilang ke dia: 'Mama akan mengurus segala sesuatunya di sini, dan Mama akan segera menyusul kamu'. Namun di saat itu Indonesia terasa sangat jauh,” imbuh Lia.

Selepas pemakaman, Lia dan ibunya pergi ke Makassar. Dia belum pernah sekali pun berkunjung ke Indonesia, dan situasinya sangat sulit. Kendati demikian, entah mengapa, itu terasa nyaman. Dia sampai sekarang masih belum mengerti penyebabnya, tapi merasa Indonesia seperti rumah sendiri sejak awal.

“Perjalanan pertama sangat gila buat saya. Sangat berat, dan penuh air mata, tapi juga sangat memberikan arti. Ibu dan saya duduk di tribun VIP ketika Marc menjalani debut,” kata Lia.

“Dia mencetak gol dengan tendangan bebas yang menjadi ciri khasnya, dan berlari menuju kami, serta mengirimkan gestur cium dengan tangannya. Kepada media, dia menyatakan gol itu sebagai penghormatan kepada Ton.”

Marc Klok - IndonesiaPersija Jakarta

Indonesia menjadi rumah

Selama beberapa tahun, dari Groetstraat Lia memantau perkembangan putranya yang telah menjadi bintang di sepakbola Indonesia. Di beberapa kesempatan, Klok memberitahu Lia bila dirinya akan menjadi warga negara Indonesia, dan bermain untuk timnas. Lia tidak terkejut. Dia melihat dari dekat bagaimana Klok sudah terikat dengan negara barunya.

“Dia sangat suka mengenal banyak orang. Bersosialisasi merupakan bagian sangat penting di budaya Indonesia, dan itu cocok buat dia. Masyarakat Indonesia juga ramah kepadanya sejak awal,” ucap Lia.

Di waktu bersamaan, Lia juga mulai jatuh cinta kepada Indonesia. Setelah berkunjung pertama kalinya pada April 2017, Lia mulai rutin pergi ke Indonesia. Bahkan dia ingin tetap tinggal di Indonesia seperti putranya.

“Saya pergi sendirian, dan mendapati betapa masyarakat di sana senang membantu dan ramah. Saya melihat mereka mensyukuri terhadap apa yang mereka miliki, meski itu hanya sedikit,” jelas Lia.

“Saya merasa seperti di rumah. Saya merasa kesedihan saya hilang ketika berada di sana. Saya bahkan berusaha mendapatkan pekerjaan sebagai pengasuh anak di Indonesia. Namun hanya wanita yang masih muda yang bisa mendapatkan pekerjaan seperti itu. Tapi siapa yang bisa tahu bagaimana ke depannya.”

Pada pertandingan perebutan medali perunggu SEA Games 2021, Lia melihat Klok mencetak gol penentu kemenangan bagi Indonesia di adu penalti, membawa bendera merah putih di pundaknya. Lima tahun telah berlalu sejak tragedi April 2017.

“Ketika saya melihat dia dengan medalinya, saya menyadari: itu putra saya. Itu sangat menyentuh saya, dan saya tidak bisa lebih bangga lagi,” pungkas Lia.

Iklan