EPL: Sir Alex Ferguson, Manchester United v LiverpoolGetty Images

Bedah Mitos: Sir Alex Ferguson Tendang Liverpool Dari Singgasana

Pada akhir September 2002, manajer Manchester United Sir Alex Ferguson adalah seorang pria di bawah tekanan. Setidaknya, itulah yang digambarkan di media.

Itu adalah gambarannya karena manajer Arsenal Arsene Wenger berhasil memenangkan gelar Liga Primer di Old Trafford pada musim sebelumnya dan sekarang United tertinggal enam poin di belakang The Gunners , setelah hanya memenangkan tiga dari tujuh pertandingan perdana, dengan mereka kalah dua kali.

Mantan bek Liverpool Alan Hansen mengklaim bahwa Ferguson menghadapi "tantangan terbesar dalam karirnya".

Artikel dilanjutkan di bawah ini

Namun kompatriotnya asal Skotlandia itu tidak sepakat dengannya.

"Tantangan terbesar saya bukanlah apa yang terjadi saat ini," tegas Ferguson kepada The Guardian . "Tantangan terbesar saya adalah menjatuhkan Liverpool dari tempat mereka. Dan Anda bisa mencetaknya."

Dapat dimengerti bahwa Ferguson bangga dengan fakta bahwa United telah merebut singgasana dari klub Merseyside itu sebagai kekuatan dominan di sepakbola Inggris. Pada saat itu, mereka telah memenangkan tujuh gelar liga teratas sejak Liverpool terakhir kali melakukannya pada 1990.

Namun, Ferguson tidak menjatuhkan The Reds dari tempat mereka; itu semua terjadi karena naiknya United ke tampuk kekuasaan bertepatan dengan kejatuhan Liverpool dari keanggunan.

Ketika The Reds meraih gelar Divisi Utama lewat kemenangan 2-1 atas QPR pada 28 April 1990, waktu itu tampaknya tidak terlihat sebagai dominasi domestik terakhir mereka.

Itu adalah gelar ke-18 untuk sekaligus memperpanjang rekor, 10 di antaranya diraih dalam 14 tahun sebelumnya. Meski tidak kelihatan, para pemain Liverpool sejatinya sudah mulai kesulitan.

"Terakhir kali kami memenangkan liga (1989/90), kami mengalami kemunduran dari tim tahun sebelumnya," kata bek serbabisa Steve Nicol kepada the42.ie .

“Kami bermain dengan setengah gairah atau komitmen yang sama seperti tahun sebelumnya. Saat itulah [penurunan] dimulai."

Liverpool Dalglish Moran EvansGetty

Ketegangan mental untuk mempertahankan kesuksesan adalah hal yang sangat besar tetapi masalah Liverpool lebih emosional.

Tragedi Hillsborough pada 1989 yang telah merenggut 96 nyawa penggemar Liverpool, telah mempengaruhi para pemain di dalamnya, jauh lebih besar daripada yang mereka akui, bahkan untuk diri mereka sendiri.

"Tiga tahun tidak dapat fokus dengan benar," jelas Nicol. "Tiga tahun bermain dalam gelembung. Tiga tahun seperti autopilot.

"Sulit untuk menyadari bahwa itulah yang terjadi pada saat itu. Nyatanya, tidak mungkin. Pernah kita mencoba, dan gagal, untuk berurusan dengan akibat dari itu. Itu jelas memiliki efek tetapi tidak ada yang tahu bagaimana cara mengatasinya dengan benar."

Kenny Dalglish bisa dibilang mendapatkan pukulan paling keras.

Dia bukan hanya legenda di Merseyside untuk prestasi luar biasanya di Anfield sebagai pemain dan manajer; dia lebih dipuja karena reaksinya terhadap Hillsborough.

Dalglish berusaha menghibur keluarga para korban, menghadiri hingga empat pemakaman sehari. Namun, dia menolak untuk berbicara di depan umum tentang tragedi itu - ini akan menjadi 20 tahun sebelum dia memecah kebisuannya atas apa yang terjadi hari itu di Sheffield.

Dalglish secara sensasional mengundurkan diri sebagai manajer pada 22 Februari 1991, dua hari setelah bermain imbang 4-4 dengan Everton di Goodison Park.

"Kami semua datang untuk latihan dan disuruh bertemu di ruang ganti," kata striker Ian Rush kepada The Guardian . "Kenny masuk dan berkata dia akan pergi.

"Itu benar-benar mengejutkan dan kejutannya ada di sana. Dia tidak bisa bicara terlalu banyak tetapi ada air mata di matanya saat dia berbicara."

Dalglish secara mental hancur. Seorang pria yang hampir tidak pernah ‘minum’ selama karier bermainnya mendapati dirinya semakin menikmati alkohol.

"Sebenarnya, saya ingin meninggalkan Anfield pada 1990, setahun sebelum akhirnya saya mengundurkan diri," ungkapnya dalam otobiografinya 'Dalglish'.

"Dalam 22 bulan antara Hillsborough dan pengunduran diri saya, ketegangan terus bertambah sampai akhirnya saya hancur.”

Kenny DalglishGetty Images

Dia kemudian mengaku menyesali keputusannya untuk pergi demi kebaikan dan akan bersedia untuk kembali setelah cuti dua minggu.

Namun, meski pun kepala eksekutif Liverpool Peter Robinson mengatakan pintu akan tetap terbuka untuk menyambut kembalinya Dalglish, ia tidak pernah menelepon.

"Klub punya ide lain, jelas," kata mantan penyerang itu, "dan pergi ke arah lain."

Itu terbukti sebagai kesalahan fatal.

Pengunduran diri Dalglish ditambah dengan pengangkatan Graeme Souness sebagai penggantinya membuktikan momen penting dalam kekeringan 30 tahun gelar Liverpool.

Seperti yang kemudian dikatakan Jamie Carragher kepada sejumlah majalah pada 2010, "Jika saya berada di tim [Ferguson], saya juga akan mengatakan kepadanya, pertama, bahwa Manchester United tidak pernah menjatuhkan Liverpool dari tempat mereka, seperti yang ia katakan. Itu hanya omong kosong. Graeme Souness justru yang melakukan itu.

"Ketika United pergi untuk gelar pertama mereka di bawah Ferguson pada 1992-93, mereka bersaing dengan Norwich dan Aston Villa. Mereka tidak bersaing dengan Liverpool, kan?"

Memang, Arsenal dan Leeds United telah memenangkan dua gelar sebelumnya, sementara Liverpool datang dari belakang urutan keenam ketika Liga Primer dimulai - itu adalah pertama kalinya mereka selesai di luar dua teratas sejak 1981.

Jadi, The Reds sudah pasti tidak berada di antara elite Inggris pada saat Manchester United memenangkan gelar liga pertama mereka dalam 25 tahun.

Souness telah mengambil alih untuk akhir musim 1990/91, memenangkan tiga dari lima pertandingan pertamanya sebagaimana The Reds finish cukup jauh dari tim peringkat dua Arsenal.

Tidak dipungkiri bahwa Liverpool membutuhkan peremajaan dan Souness layak mendapatkan pujian karena menaruh kepercayaan pada orang-orang seperti Robbie Fowler, Steve McManaman dan Jamie Redknapp.

Namun, sebagian besar langkahnya di bursa transfer adalah bencana.

Steven Staunton, Ray Houghton dan, yang paling membingungkan, Peter Beardsley dibuang terlalu dini dan tidak digantikan dengan benar.

"Anda bisa merasakannya saat latihan," kata gelandang Jan Molby pada Goal. "Sebelumnya, kami telah berlatih di level tinggi, tetapi segera tampak bahwa beberapa pemain baru ini tidak bisa melakukan itu."

Memang, Dean Saunders dibeli seharga £2,9 juta, tetapi dia segera dijual ke Aston Villa setelah gagal membuktikan biaya besarnya yang waktu itu menjadi rekor Inggris.

Paul Stewart membuktikan salah satu kegagalan terbesar dalam sejarah Liverpool, sementara lebih banyak uang dihabiskan untuk pemain seperti Nigel Clough, Mark Walters dan Torben Piechnik.

Kedatangan Julian Dicks mungkin paling baik dalam menyimpulkan keyakinan keliru Souness, yang akhirnya membuat sang manajer kehilangan pekerjaannya.

Namun, kesalahan terbesar yang dibuat Souness selama bertugas, adalah melakukan wawancara eksklusif pada 1992 dengan The Sun , sebuah surat kabar yang diboikot oleh Merseyside karena liputannya tentang tragedi Hillsborough.

Akibatnya, saat Liverpool memenangkan Piala FA di musim itu, ada sedikit simpati untuk Souness ketika dia lengser pada Januari 1994 setelah berturut-turut menempati posisi keenam dalam dua musim penuhnya di pucuk pimpinan.

Kebencian para pendukung terhadap Souness telah agak berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Dia sendiri sadar betul bahwa ia "melakukan kesalahan", mengakui bahwa ia "menyesali keputusan [untuk melakukan wawancara dengan The Sun] selamanya. Saya tidak memiliki pembelaan."

Dia juga mengakui gagal dalam pekerjaannya untuk membangun ulang Liverpool. Pendekatan disiplinernya terbukti kontraproduktif. Sang mantan gelandang pernah bentrok dengan rekan satu tim lamanya yang menginginkan kontrak baru, sementara talenta-talenta modern yang muncul tidak mau menerima pendekatannya yang kuno.

"Saya dibutakan oleh perasaan saya terhadap Liverpool," jelasnya dalam buku Men in White Suits. "Saya berharap para pemain saya merasakan hal yang sama dengan saya. Tetapi dunia berubah. Para pemain berharap pundak saat mereka menangis. Para pemain memegang lebih banyak kekuatan daripada manajer.

“Saya terkadang tidak cukup imut, atau cukup politis."

Graeme Souness Liverpool

Namun, untuk membuat Souness bertanggung jawab sepenuhnya atas kemunduran Liverpool adalah hal yang salah.

Sesuatunya tidak hanya berjalan buruk di lapangan. Dia bukan satu-satunya orang di klub yang gagal beradaptasi dengan perubahan cara permainan dan dunia.

Liverpool sebagai klub sepakbola juga gagal

The Reds sejatinya adalah salah satu kekuatan di belakang penciptaan Liga Primer, yang diluncurkan pada 1992, namun mereka sebenarnya gagal untuk memahami sepenuhnya potensinya untuk merevolusi permainan Inggris.

Ketika Souness mengundurkan diri, Liverpool mencoba untuk kembali ke mentalitas 'Boot Room’, yang sebelumnya memberikan fondasi bagi era kesuksesan mereka yang belum pernah terjadi, dengan mereka lantas mempekerjakan Roy Evans sebagai penggantinya.

Masalahnya adalah, pemikiran Liverpool tentang cara mengelola klub sepakbola juga masih berakar di masa lalu.

"Liverpool tidak mau mengakui bahwa sepakbola menjadi bisnis," kata mantan pemain depan Ronnie Rosenthal dalam klaimnya di Men in White Suits. "Dewan direksi hanya fokus pada sepakbola dan gagal."

Memang, selagi Liverpool berdamai dengan era pasca-Dalglish, Manchester United secara cerdik mengambil keuntungan dari kepintaran manajerial Ferguson dengan mengambil langkah pertama mengubah klub menjadi raksasa komersial.

“Pimpinan Manchester United Martin Edwards adalah seorang visioner dan dia bisa melihat bagaimana sepakbola berjalan," Rosenthal berpendapat.

Di bawah Edwards, dan berkat karya luar biasa dari orang-orang seperti David Gil, United menjadi simbol era Liga Primer, mengambil keuntungan penuh dari peningkatan paparan yang diberikan oleh liputan Sky TV tentang liga teratas di Inggris.

Dengan kemasan baru yang keren, sepakbola beroktan tinggi dan stadion penuh, Liga Primer juga menjadi fenomena global - seperti yang dilakukan United, yang menjadi pelopor dalam hal tur pramusim di luar negeri, perdagangan, dan kesepakatan sponsor.

Semakin banyak uang yang mereka hasilkan, semakin banyak gelar yang mereka menangkan dan semakin populer mereka. Itu adalah siklus kesuksesan simbiotik.

Waktu itu Liverpool masih merupakan klub paling sukses di sepakbola Inggris, tetapi mereka tertinggal di belakang United, menjadi sesuatu yang tidak relevan karena kurangnya partisipasi mereka di Liga Champions - pemintal uang besar lainnya yang diluncurkan pada 1992.

Sementara pada 2002, United berhasil menghasilkan lebih banyak pendapatan setiap tahun daripada klub lain di dunia, dan itu hampir £70 juta lebih dari saingan barat laut mereka.

Liverpool tetap menjadi nama utama di sepakbola tetapi masih berjuang untuk menjalin pendekatan yang lebih modern dengan nilai-nilai tradisional mereka.

Ketika David Moores, yang mengambil alih sebagai ketua klub pada 1991, dia kemudian mengaku dalam sepucuk surat kepada The Times , "Di tengah Euro 96 seiring semakin banyak masuknya superstar luar negeri dengan upah besar, saya sadar sepakbola mulai berubah di luar kebiasaan dan sangat khawatir, tentang kemampuan saya untuk melanjutkan penjaminan keuangan.

"Klub-klub sepakbola mulai dilihat sebagai sumber keuntungan daripada sumber kebanggaan; mereka adalah lembaga keuangan alih-alih warisan olahraga. Era (Roman) Abramovich ada di depan kita, dan saya tahu bahwa saya tidak akan pernah bisa bersaing.”

Maka, Liverpool semakin jauh tertinggal dari perspektif komersial - terlepas dari kerja bagus yang dilakukan di lapangan oleh manajer seperti Gerard Houllier dan Rafael Benitez - dengan keputusan Moores untuk menjual klub kepada George Gillett dan Tom Hicks pada 2007 hampir mengakibatkan The Reds bangkrut tiga tahun kemudian.

Tapi sekarang, di bawah kepemilikan Fenway Sports Group dan, yang lebih penting, manajemen Jurgen Klopp, Liverpool siap untuk merebut kembali tempat mereka di puncak sepakbola Inggris.

Ferguson mungkin telah mendepak mereka dari singgasana itu selama bertahun-tahun, tetapi kejatuhan Liverpool dahulu adalah karena ulah sendiri.

Iklan