OLEH DANIEL EDWARDS PENYUSUN YUDHA DANUJATMIKA Ikuti di twitter
Mantan striker Brasil, Inter Milan, dan Parma, Adriano Leite, merupakan salah satu enigma terbesar dalam sepakbola abad ke-21.
Tangguh, sangat berbakat, dan mematikan di depan gawang, ia tampil sebagai sosok yang punya segala atribut untuk mewarisi takhta Ronaldo sebagai striker terbaik Brasil di peralihan millennium.
Namun etos kerja payah dan skandal luar lapangan tanpa henti memastikan sang striker gagal meraih potensinya.
Apa yang salah dengan Adriano? Apa yang terjadi pada pria yang diprediksi bakal menguasai dunia sepakbola, namun kehilangan segalanya?
Pertandingan Berikut
Kelahiran Rio de Janeiro itu sudah dipromosikan untuk Berjaya sejak awal. Di usia muda 17 tahun, ia sudah menembus skuat utama Flamengo. Di usia 19 tahun, ia pindah ke Inter dengan nilai transfer €13 juta.
Dengan minimnya peluang bermain di San Siro, pemuda Brasil itu dipinjamkan ke Parma, di mana ia mencetak 26 gol dalam 44 laga, sehingga mendapat kesempatan untuk pulang ke Nerazzurri.
Dalam waktu dekat, ia sudah menjadi bintang untuk negaranya, meraih sepatu emas dalam perjalanan sukses Brasi lmeraih Copa America 2004.
Namun setelah tampil gemilang bersama klub dan negara, ada kekhawatiran tentang gaya hidup borosnya.
2006, ia kedapatan berpesta di klub malam dua kali dan dicoret oleh pelatih Selecao saat itu, Dunga, sebagai peringatan untuk berbenah.
“Ia adalah seorang juara, tapi ia harus menemukan kembali motivasinya, semangat yang tepat, dan focus,” ungkapnya. “Inter itu seperti tim nasional; ada 18 juara di dalam skuat. Setiap hari, Adriano harus berjuang untuk mempertahankan tempatnya.”
Tak perlu terkejut, peringatan itu berlalu begitu saja. Walau terus mencetak banyak gol bersama Inter yang meraih empat Scudetto beruntun antara 2006 dan 2009, sang striker makin kehilangan dayanya seiring waktu bergulir.
Akhirnya, kesabaran klub habis, setelah masa pinjaman ke Sao Paulo gagal membangkitkannya. Sang striker akhirnya kembali ke klub kesayangannya, Flamengo, membantu mereka meraih gelar Serie A Brasil, namun kembali ke Serie A bersama Roma justru jadi musibah.
Di ibu kota Italia, dan deretan klub Brasil lainnya, Adriano tak lebih dari pemain mahal yang memalukan. Paceklik gol dimulai dan ia lebih sering berada di ruang perawatan atau, lebih seringnya, berjalan-jalan di klub malam ketimbang unjuk gigi di lapangan.
Terakhir kalinya ia mencatatkan lebih dari 10 laga dalam semusim adalah musim 2009; hingga 2016, setelah kembali bermain bersama klub Amerika Serikat Miami United, ia mundur dari permainan ini.
Pada pertengahan tahun lalu, sang striker Brasil pindah ke Vila Cruzeiro. Pemukiman tersebut merupakan salah satu kota kumuh yang terkenal, dan kedatangan salah satu penduduk terkenal.
Dihancurkan oleh alcohol dan obat-obatan, seiring karier sepakbolanya usai, Adriano tinggal di sana, menggembung dan kehilangan kebugarannya.
Sang penyerang diduga terpaksa membayar geng berbahaya Comando Vermelho (Red Command) untuk mendapat perlindungan di area tersebut.
Karenanya tidak mengejutkan, pada 2010, sebuah foto mengungkap Adriano sedang membawa AK47 – senjata api otomatis – dan memamerkan tanda geng tersebut.
Tentu saja, itu merupakan pemandangan yang menyedihkan, terutama bagi mereka yang berusaha menolongnya.
Adapun Javier Zanetti, legenda Inter dan Argentina yang bermain bersama Adriano di San Siro, yakin salah satu panggilan tragis lewat telepon telah membuat sang pemain yang disebut Ronaldo baru itu jatuh ke jurang kehancuran.
“Adriano memiliki seorang ayah yang memerhatikannya dan menjaga dirinya tetap di jalur yang benar. Namun pada awal musim 2004/05, satu hal yang tak terbayangkan terjadi. Ia mendapat panggilan dari Brasil dan diberitahu bahwa ayahnya meninggal.”
“Saya melihatnya menangis. Ia membanting teleponnya dan berteriak hal itu tak mungkin terjadi. Sejak saat itu, [Massimo] Moratti dan saya memutuskan untuk membimbingnya seperti adik sendiri dan melindunginya. Ia terus bermain mencetak gol, dan mendedikasikan gol untuk ayahnya. Namun setelah telepon itu, ia tak lagi sama.”
“Kami ingin mengatakan bahwa ia adalah gabungan Ronaldo dan [Zlatan] Ibrahimovic dan ia bisa jadi lebih baik dari keduanya. Namun terlepas dari segalanya, kami tak mampu melakukannya. Kami tak bisa menyembuhkan depresinya dan itu masih menghantui saya.”
Adriano menyampaikan hal yang sama lewat R7. “Hanya saya yang tahu seberapa besar penderitaan saya. Kematian ayah saya meninggalkan lubang besar. Saya merasa kesepian dan mengisolasi diri ketika ia tiada. Saya sangat sedih dan depresi di Italia, dan saat itulah saya mulai menenggak minuman keras.”
“Saya hanya merasa senang saat minum, saya menenggak segala yang ada di depan saya; wine, whisky, vodka…saya tak tahu bagaimana menyembunyikannya. Saya biasa berangkat latihan dalam keadaan teler di pagi hari.”
Playing SurfaceMungkinkah ada akhir bahagia untuk kisah Adriano? Sepertinya tidak.
Pada suatu Musim panas, presiden Flamengo Eduardo Bandeira de Mello memanggil sang bintang dan menawarkan masa bakti ketiga di klub tersebut, tapi mendapat penolakan.
“Di Piala Dunia 2018, ia akan berusia 36 tahun dan ia masih lebih baik dari semua orang. Plus, Flamengo butuh seorang idola. Namun ia tidak menerimanya,” ungkap sang presiden pada Fox Sports.
“Sungguh disayangkan, kepergian ayahnya menjadi momen ketika Adriano patah hati dengan sepakbola; sekarang, tampaknya ia sudah mengabaikan olahraga itu sepenuhnya."