Dalam banyak hal, Virgil van Dijk terlihat sama seperti sebelumnya. Dia masih mendominasi duel udara, membuat banyak sapu bersih, dan intersep yang jitu. Dia masih memperlihatkan ketenangan, tetap mampu melepaskan umpan diagonal ke kiri dan kanan dengan indah ke Mohamed Salah dan Trent Alexander-Arnold.
Sebagai tambahan kredit, dia masih bisa tampil paling depan setelah pertandingan. Baik ketika menang, imbang atau kalah, Van Dijk biasanya meluangkan waktu untuk berhenti di mixed zone untuk memberikan pendapatnya kepada media yang menunggu.
Itu yang terjadi di Stadion Etihad pada akhir pekan kemarin. Saat rekan satu timnya berjalan dengan diam, berwajah cemberut melewati mixed zone, serta sekelompok pemburu tanda tangan, Van Dijk harus memberikan respons terhadap kekecewaan The Reds, kemunduran terbaru dalam upaya mereka yang sepertinya gagal untuk mengamankan tiket kualifikasi Liga Champions.
Pertandingan Berikut
“Sangat membuat frustrasi,” demikian penilaiannya terhadap kekalahan 4-1 yang memperlihatkan semua kelemahan Liverpool saat ini. Kalah dari Manchester City masih bisa diterima, tapi kalah dengan performa seperti yang diperlihatkan di laga itu tentunya tidak. Van Dijk mengungkapkan, akan ada 'pembicaraan keras' antara pemain dan staf pada sesi diskusi pascalaga keesokan harinya.
Dalam banyak hal, menonton Van Dijk musim ini seperti menonton Liverpool, individu yang sedang berada dalam kesulitan, dan frustrasi yang diperlihatkan secara kolektif. Pertanyaan, baik untuk tim maupun pemain, adalah apakah ini penurunan sementara atau permanen?
Getty ImagesGejala itu muncul dalam pertandingan pembuka Liga Primer musim ini, ketika Aleksandar Mitrovic menyiksa Van Dijk, sementara energi dan fisik penggawa Fulham membuat lini tengah Liverpool bingung. Pasukan Jurgen Klopp akhirnya bermain imbang 2-2. Mungkin saja mereka bisa menang, tetapi ritme telah ditetapkan, dan bukan sebuah nada yang bagus.
Sejak saat itu mereka sering mengejar ketinggalan, sikap positif mereka dibayangi keburukan dua kali. Saat ini, mereka tertinggal 21 poin dibandingkan posisi mereka setelah 27 laga musim lalu, dan sangat jauh dalam hal penampilan dan standar.
Sorotan telah menyinari seluruh Anfield, karena penurunan The Reds menjadi lebih jelas dan mengkhawatirkan. Para pemain seperti Fabinho, Joe Gomez, Joel Matip, Alexander-Arnold, dan Jordan Henderson telah dikritik habis-habisan. Sementara Klopp pun mendapat kecaman. “Kamu dipecat di pagi hari,” begitu nyanyian fans City pada hari Sabtu. Itu bukan pertama kalinya terdengar di pertandingan Liverpool musim ini.
Van Dijk, tentu saja, hampir identik dengan kebangkitan The Reds yang paling menonjol. Bisa dibilang menjadi bagian paling penting dari teka-teki saat Klopp menciptakan tim yang bisa menaklukkan dunia. Tetapi kesulitan tahun ini telah menimbulkan banyak pertanyaan, apakah di usia yang mencapai 31 tahun menandakan hari-hari terbaiknya mungkin sudah berlalu.
Getty ImagesKedengarannya tidak masuk akal, tetapi ini tentu menjadi perdebatan panas di Belanda, di mana sosok legendaris Marco van Basten dan Ruud Gullit telah melempar kritikan untuk mempertanyakan status Van Dijk sebagai kapten Belanda.
“Dia berpikir dia lebih baik dibandingkan yang lain,” demikian penilaian Gullit setelah kekalahan dari Prancis belum lama ini. Jelas ironi itu belum sampai ke tahapan tertentu. Sementara Van Basten, seorang kritikus yang selalu blak-blakan, menganggap Van Dijk 'menciptakan kekacauan', dan 'membuat kebisingan, tetapi tidak mengatakan apa-apa'.
Bahkan di Inggris, pengamat seperti Graeme Souness dan Bryan Robson mengkritik kepemimpinan Van Dijk. “Saya tidak yakin apakah dia seorang pemimpin,” kata Souness baru-baru ini. “Dia tidak berbicara! Pernahkah Anda melihatnya marah? Tolong, marahlah!”
Gelandang, bek sayap, dan penyerang Liverpool bakal menempatkan kritikan Souness langsung pada poin itu. Van Dijk adalah salah satu pemain bersuara paling keras dan paling dihormati di ruang ganti The Reds, dan penilaian dia seperti violet yang menyusut, atau menyebut kesalahan secara halus, tidak lebih dari konyol.
Ketika Rio Ferdinand menjadi komentator untuk BT Sport dalam kekalahan dari City, tidak ada yang mempertanyakan kepemimpinan Van Dijk ketika Liverpool sedang terbang tinggi, memenangkan setiap trofi yang signifikan dalam waktu empat tahun. Tidak ada yang menyinggung komunikasinya ketika dia berada di urutan kedua setelah Lionel Messi pada Ballon d'Or 2019, atau ketika dia berada di PFA Team of the Year selama tiga dari empat musim terakhir.
Getty ImagesTetapi penurunan Liverpool musim ini begitu besar, sulit untuk dijelaskan, sehingga narasi ditulis ulang. Alexander-Arnold tiba-tiba adalah pemain yang perlu diganti, sementara penurunan Fabinho sepertinya dapat diprediksi, bahkan ketika dia sedang beroperasi di lini tengah dengan kepastian dan otoritas satu dari yang terbaik di dunia.
Seperti kedua pemain itu, dan seperti Liverpool pada umumnya, Van Dijk telah menjadi korban dari standar tingginya sendiri. Ini adalah musim buruk pertamanya selama bertahun-tahun, jadi terlihat lebih menonjol, dan hasilnya menarik lebih banyak perhatian. Setelah dihujani pujian sejak kepindahannya ke Merseyside, mungkin tak terhindarkan para pengkritiknya akan merakit pernyataan baru setelah penampilannya berubah.
Dia masih merupakan bek tengah yang luar biasa. Tidak ada seorang pun di Liga Primer yang lebih baik di udara, dan hanya sedikit yang lebih kuat, atau lebih tenang. Dia masih menampilkan beberapa penampilan apik, bahkan di musim ini. Silakan tanya Erling Haaland atau Marcus Rashford, apakah mereka senang bermain melawan dia?
Tapi tidak diragukan lagi aura tak terkalahkan yang membuat striker lawan mengkeret, serta memberikan jaminan kepada fans dan rekan satu tim, sekarang telah rusak. Mitrovic sudah memperlihatkannya Agustus lalu. Bahkan pemain kelas biasa seperti Taiwo Awoniyi, Yoann Wissa, dan Dominic Solanke telah mampu mengalahkan Van Dijk, apalagi pemain elite seperti Karim Benzema, Victor Osimhen, atau Gabriel Jesus.
Getty ImagesTentu saja tidak ada individu yang bisa, atau harus, disalahkan di tengah tim yang sedang terpuruk. Kesuksesan Liverpool telah dibangun di atas kekuatan kolektif mereka, tetapi tidak ada satu pun di dalam tim yang berfungsi sebagaimana mestinya saat ini. Setiap bagian yang rusak, ruang mesin yang retak, bahasa tubuh yang rapuh, hilangnya kepercayaan diri secara kolektif, telah menimbulkan efek domino. Lini tengah terlalu banyak bekerja, karena penyerang tidak menekan seperti dulu, dan hasilnya adalah pertahanan dibiarkan terekspos saat tim bermain dengan mudah dan keteraturan yang mengkhawatirkan.
Bisa dibilang Van Dijk akan menjadi orang pertama yang mengakui levelnya sendiri belum maksimal. Dia tahu dia harus berbuat lebih baik, dan timnya membutuhkan dia. Gullit dan Van Basten mungkin tidak setuju, tetapi hanya sedikit pemain yang lebih teliti, lebih bersemangat, dibandingkan pemain berusia 31 tahun itu dalam hal penilaian diri.
Pertanyaannya: apakah ini penurunan jangka pendek, terkait dengan masalah tim dan kuantitas sepakbola yang dia mainkan sejak kembali dari cedera lutut, atau apakah itu sesuatu yang lebih serius, sesuatu yang berjangka panjang.
Jika yang terakhir, Liverpool bisa berada dalam masalah yang lebih besar dari yang pernah kita bayangkan.